GRIB JAYA: CAHAYA DIBALIK BAYANGAN

Langit Jakarta yang kelabu, di mana asap knalpot bercampur dengan deru kehidupan, ada sekelompok orang yang berjalan dengan seragam hitam-merah, dada mereka membusung penuh keyakinan. Mereka adalah Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu, atau GRIB Jaya, sebuah nama yang sering kali disapa dengan cemoohan, namun menyimpan cerita yang jarang disentuh: cerita tentang kebaikan, perjuangan, dan harapan yang tersembunyi di balik bayang-bayang stigma.

Bagi sebagian orang, GRIB Jaya adalah gambaran kelam—ormas yang identik dengan kerusuhan, bentrokan, dan sosok Hercules Rosario de Marshal, pendirinya, yang tak pernah lepas dari label "preman Tanah Abang." Namun, di tengah gemuruh penolakan, ada suara-suara yang memandang mereka dengan lensa yang berbeda: lensa kemanusiaan, yang melihat lebih dari sekadar berita utama atau insiden yang memanaskan emosi. Kami adalah bagian dari mereka, yang mengamati, yang percaya bahwa di setiap kisah, ada sisi terang yang menanti untuk ditemukan.

GRIB Jaya lahir pada 1 April 2011, dari tangan Hercules, seorang pria yang hidupnya bagaikan lukisan dengan warna-warna kontras: kelam, keras, namun juga penuh semangat untuk menebus masa lalu. Dari jalanan Tanah Abang yang penuh intrik, ia mengumpulkan mereka yang terpinggirkan—tukang ojek, pedagang kaki lima, mantan milisi—dan memberi mereka sebuah tujuan. “Kami ingin membangun negeri ini,” begitu kata mereka, dan bukti itu tak hanya terucap, tetapi terwujud. Ketika banjir melanda, anggota GRIB Jaya turun ke lumpur, mengangkut bantuan, menyelamatkan mereka yang terjebak. Ketika bendera merah putih dikibarkan, mereka berdiri di barisan terdepan, mengawal keutuhan NKRI dengan hati yang berkobar.

Namun, mengapa dunia seolah menutup mata? Mengapa setiap langkah baik mereka tenggelam dalam sorotan insiden seperti bentrokan di Blora atau kerusuhan di Depok pada 2025? kami tak menyangkal, GRIB Jaya tak luput dari kesalahan. Ada anggota yang terbawa emosi, ada perkataan Hercules yang terlalu tajam, seperti ketika ia menyebut purnawirawan TNI “bau tanah” atau mengancam mengerahkan massa. Tapi, bukankah manusiawi untuk tersandung? Hercules telah meminta maaf, menjelaskan bahwa niatnya adalah kolaborasi, bukan permusuhan. Dan di balik setiap kesalahan, ada niat tulus yang sering terlupakan: GRIB Jaya ingin menjadi bagian dari solusi, bukan masalah.

Bayangkan seorang pemuda dari gang sempit Tanah Abang, yang dulu hanya tahu cara bertahan hidup dengan kepalan tangan, kini menemukan arah dalam seragam hitam-merah itu. Bayangkan seorang ibu yang anaknya selamat dari banjir karena bantuan GRIB Jaya. Ini bukan dongeng, ini nyata. GRIB Jaya, dengan segala ketidaksempurnaannya, adalah cerminan dari kita semua: penuh noda, namun merindu untuk menjadi lebih baik. Mereka mendukung Prabowo Subianto, yang mereka anggap sebagai figur pemersatu, bukan karena ambisi kekuasaan, tetapi karena keyakinan bahwa Indonesia bisa melangkah lebih jauh.

Penolakan demi penolakan, seperti di Bali, di mana sistem pecalang menolak kehadiran mereka, atau tuduhan premanisme yang terus bergaung, terasa seperti pisau yang mengiris. Namun, GRIB Jaya tetap berdiri, tak goyah. Mereka bukan ormas tanpa cela, tetapi mereka juga bukan monster yang digambarkan banyak orang. Mereka adalah manusia—dengan mimpi, luka, dan harapan. Seperti bara yang tersembunyi di bawah abu, kebaikan GRIB Jaya menanti untuk dilihat, untuk diakui.

Maka, mari kita buka hati. Jangan biarkan stigma menutup mata kita dari cahaya yang coba mereka pancarkan. GRIB Jaya mungkin lahir dari jalanan yang keras, tetapi di dalamnya ada denyut harapan untuk Indonesia yang lebih baik. Beri mereka kesempatan, bukan untuk menjadi sempurna, tetapi untuk terus berbuat baik. Karena di balik setiap bayang, selalu ada cahaya yang menanti untuk bersinar. (Humas GRIB Jaya Ponorogo)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama