Ciuman Tangan di Cibubur, Sebuah Kisah Penyesalan Hercules


GRIBJAYANUSANTARA.COM - Cibubur yang masih diselimuti embun pagi ini, Rabu, 28 Mei 2025, di sebuah rumah sederhana di Jakarta Timur menjadi saksi bisu perjumpaan yang sarat makna. Di sana, di antara dinding-dinding yang menyimpan kenangan perjuangan, Hercules Rosario Marshal, Ketua Umum Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya, melangkah dengan kepala tertunduk. Di tangannya, sehelai kain Timor, tenunan warisan leluhur, dibawa sebagai lambang penyesalan. Di hadapannya berdiri Letjen TNI (Purn) Sutiyoso, mantan Kepala Badan Intelijen Negara, sosok yang pernah menorehkan sejarah di medan laga, kini menatap dengan mata yang penuh cerita. Momen itu, ketika tangan Hercules mencium tangan Sutiyoso, bukan sekadar isyarat maaf—ia adalah puisi tentang darah, kesetiaan, dan luka yang pernah terukir di bumi Timor Leste.


Hercules datang dengan beban kata-kata yang keliru. Ucapannya yang spontan, menyebut Sutiyoso “mulut bau tanah,” lahir dari bara amarah atas wacana revisi UU Ormas yang mengguncang. Kata-kata itu, bagai anak panah yang lepas dari busur, melukai hati seorang purnawirawan Kopassus baret merah, tokoh yang dihormati Hercules sebagai “bapak.” Dalam kunjungannya, didampingi anak-anak Timor dan anggota GRIB Jaya, Hercules menyerahkan kain Timor, simbol adat yang sarat makna, dan mencium tangan Sutiyoso—gestur kuno yang menggenggam hormat dan penyesalan. “Saya anggap bapak ini bapak saya sendiri. Kami dididik bapak-bapak dari baret merah, diajari kesetiaan, diajari loyalitas,” ujarnya, suaranya bergetar, bagai daun yang diterpa angin pagi. Ia meminta maaf, bukan hanya kepada Sutiyoso, tetapi juga kepada istri, anak, cucu, dan keluarga besarnya, seolah ingin merangkul semua yang tersakiti oleh lidahnya yang terburu.

Sutiyoso, dengan wajah yang telah diukir garis-garis waktu, menyambut maaf itu dengan dada terbuka. Baginya, Hercules bukan sekadar nama—ia adalah adik, anak, bagian dari mozaik perjuangan di Timor Leste, di mana darah dan peluh pernah bercampur demi NKRI. “Kita punya sejarah hubungan emosional yang terbangun dengan berdarah-darah, bukan karena mesra-mesraan,” katanya, suaranya teguh namun hangat, bagai bara yang masih menyala di perapian kenangan. Ia mengenang masa ketika Kopassus dan Tenaga Bantuan Operasi (TBO), termasuk Hercules dan Erico Gutteres, berjuang bersama di tengah asap dan debu perang. Bagi Sutiyoso, kesalahpahaman ini hanyalah riak kecil di lautan sejarah mereka, sebuah kelemahan manusiawi yang tak perlu dibesar-besarkan. Namun, dengan bijak, ia menitipkan pesan: Hercules harus juga meminta maaf kepada Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, yang turut tersinggung oleh ucapan itu. (Humas GRIB Jaya Ponorogo)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama